Rabu, 30 Maret 2011

Demokrasi Indonesia Versus Demokrasi Barat

Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan



“Masyarakat ini mewakili cita-cita umat manusia dan akhir tujuan mereka!” Demikian kata presiden legendaris Amerika Serikat, Abraham Lincoln (1860-1865), tentang negaranya.1 Kiranya kita sangat bisa memahami mengapa sang presiden berbicara demikian. Amerika Serikat saat itu menjadi perbincangan dunia karena merupakan negara tempat seluruh ide revolusi yang meledak di Eropa pada akhir abad XVIII M diimplementasikan.
Pada tahun 17832, ketika masyarakat Eropa muak pada monarki, sikap kesewenang-wenangan raja dan gereja, serta gaya hidup manja kaum bangsawan, pantai timur benua Amerika malah menampung seluruh ide kemuakan itu dan mewujudkannya dalam sebuah negara baru yang mewakili cita-cita mereka. Kepala negara dari negara baru itu bukan lagi raja, yang mewarisi kekuasaan turun temurun, tetapi presiden, yang dipilih rakyat secara langsung. Kedaulatan di negeri itu bukan lagi di tangan raja dan gereja, yang merasa mengemban amanah Tuhan tapi kenyataannya hanya menggunakan kedaulatan itu untuk menindas rakyat, tapi dinyatakan sebagai milik rakyat sendiri. Aktivitas ekonomi dinyatakan sebagai hak seluruh rakyat, bukan lagi dominasi tuan tanah dan bangsawan sebagaimana pada masa sebelumnya. Negara Amerika Serikat adalah milik seluruh rakyat. Itulah gambaran dari sebuah negara yang diangankan masyarakat dunia Barat saat itu, yang kemudian dibanggakan oleh Presiden Abraham Lincoln, beberapa puluh tahun setelah negara itu berdiri. Negara demokrasi. Begitulah orang menyebutnya. “Democracy is from the people, by the people, and for the people!” begitulah kata Abraham Lincoln yang sampai kini terus dikenang, tak hanya oleh rakyat Amerika Serikat, tapi bahkan oleh dunia.

Hanyalah Prancis, dengan Revolusi Prancis-nya, yang berhasil “menyaingi” Amerika Serikat dalam demokrasinya. Itupun munculnya “belang-belang”, berselang-seling dengan kediktatoran. Prancis larut dalam perang demi perang yang mengembalikan negeri itu ke dalam penindasan dan pemerintahan otoriter. Praktis Amerika Serikat-lah yang saat itu menjadi tatapan mata dunia. Amerika Serikat adalah “dunia baru”, tempat seluruh impian bisa digapai, karena di sana rakyat berdaulat. Seperti itulah gambaran negeri itu di abad XIX M. Sangat wajar kalau banyak penduduk Eropa, dari berbagai bangsa, berbondong-bondong menuju tanah impian itu. Dan setelah Amerika Serikat diakui sebagai “teladan dunia”, pelan tapi pasti negara-negara Eropa bergeser dari kerajaan menuju demokrasi.
Negara demokrasi. Itu pulalah yang menjadi teriakan dalam reformasi di Indonesia tahun 1998. Sebelumnya, Indonesia dianggap sebagai “kerajaan feodal Jawa” dibawah pemerintahan “Raja Soeharto”. Maka yang terjadi di tahun itu hanyalah ulangan apa yang terjadi di Amerika dan Eropa dua abad sebelumnya. Dan itu pula yang melanda seluruh Eropa Timur dan Rusia pada waktu sekitar jatuhnya Uni Soviet. Rakyat menghendaki bergeser dari negara totaliter otoritarian menuju negara demokrasi. Negara-negara berkembang, seperti India dan Philipina, saat ini juga dikenal sebagai negara demokrasi.

Demokrasi. Demokrasi. Demokrasi…. Itulah kata yang terus bergaung selama dua seperempat abad ini di berbagai belahan dunia. Namun, bagaimana keadaan berbagai negeri demokrasi saat ini? Marilah kita berkeliling, mengunjungi negeri-negeri tempat demokrasi diimplementasikan. Selanjutnya kita cermati, apakah negeri-negeri itu menjadi permata dunia, yang lebih maju, adil, dan beradab?

***
Kita awali dari sang perintis demokrasi, Amerika Serikat (AS). Apakah AS sekarang menjadi negeri yang semakin bisa dibanggakan? Apakah AS sekarang merupakan gambaran “negara ideal”? Di negeri ini tampaknya memang ada kebanggaan tersendiri karena AS menjadi simbol kemajuan dunia. Negara Amerika Serikat sekarang telah menjadi pusat percaturan politik, ekonomi, dan teknologi dunia. Markas PBB bahkan berada di New York. Semua berangkat dari berbagai kejadian sepanjang abad XX. Setelah kerajaan-kerajaan di Eropa tercerai berai karena Perang Dunia I, sementara negara-negara diktator hancur dalam Perang Dunia II, sedangkan negara-negara totaliter komunis berguguran seputar dekade 90-an, Amerika Serikat justru melesat menjadi adikuasa tunggal. Bahkan saat ini, Kongres, tempat rakyat AS biasa menyalurkan aspirasi mereka, telah “sangat biasa” menentukan kebijakan PBB.

Namun, apakah itu berarti semua idealisme yang menjadi impian saat AS berdiri telah berhasil dicapai? Yang terjadi ternyata sebaliknya.
Ternyata bidang politik dan ekonomi di negeri itu tak mencerminkan kedaulatan rakyat tapi “kedaulatan konglomerat”. Jabatan-jabatan politik, baik tingkat pusat, provinsi, maupun distrik, baik legislatif maupun eksekutif, bukan lagi terasa sebagai hak seluruh rakyat tapi hak para konglomerat atau pihak yang mendapatkan dukungan dari kalangan superkaya itu.3 Memang rakyat berpartisipasi dalam pemilu, tapi itu karena mereka terpaksa harus memilih diantara dua pilihan, yaitu calon dari Partai Republik dan calon dari Partai Demokrat. Sementara seluruh calon dari kedua partai itu untuk bisa maju harus mendapatkan dukungan finansial yang sangat besar dari para konglomerat.4 Faktanya, rakyat seringkali tertipu. Mereka memilih berdasar informasi media (milik kongkomerat pendukung kandidat) yang sangat memuji kandidat, tapi setelah para kandidat itu terpilih ternyata kualitas mereka tak sebaik yang diberitakan. Mereka kagum pada kepedulian Jimmy Carter pada hak asasi manusia, tapi yang mereka dapati hanyalah seorang presiden yang cengeng dalam politik luar negerinya. Mereka muak dan akhirnya memilih Ronald Reagan tapi ternyata dia hanyalah seorang yang membuat utang negerinya membengkak tiga kali lipat.5 Di awal abad XXI ini, presiden mereka, George W. Bush, adalah “Hitler abad XXI”, manusia tanpa empati.
Impian untuk merasa bebas dan berdaulat ternyata juga tak sebagaimana harapan. Media, milik konglomerat, yang mendominasi berita dan informasi, tak sekedar mendikte rakyat dalam masalah politik dan ekonomi, tapi juga menjadikan rakyat sebagai objek komersial. Televisi dipenuhi dengan tayangan hiburan yang merusak, gaya hidup mewah, dan kekerasan. Sangat wajar jika kondisi moral generasi kian rusak. Sementara di saat yang sama, para tokoh agama semakin kurang diperhatikan, kecuali mereka yang bersedia berkompromi dengan media walau dengan bayaran hilangnya idealisme mereka.

Gambaran moralitas masyarakat AS dewasa ini ternyata demikian mencengangkan. 93% berpendapat bahwa tak seorang pun yang menjadikan satu ketentuan pegangan moral dalam hidup mereka. 84 % menyatakan bersedia menentang ajaran agama mereka dan 81 %-nya bahkan benar-benar telah menentangnya. 38 % di antara mereka merasa membaur dengan orang-orang yang tak mereka sukai. 29 % sering mempunyai perasaan bahwa mereka penjahat, penipu, dan munafik. 91 % menyatakan bahwa berbohong telah menjadi perilaku dan kebiasaan hidup mereka. 20 % menyatakan bahwa mereka tidak meninggalkan berbohong meski hanya satu hari. 31 % orang yang telah berumah tangga tetap melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain. 62 % berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain sah-sah saja dilakukan. 39 % menyatakan bahwa mereka pernah melakukan kejahatan yang berbeda selama hidup mereka.6

Inilah AS, sang perintis demokrasi. Bagaimana dengan Eropa Barat, yang terinspirasi oleh Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis? Eropa Barat terdiri dari negara-negara maju. Proses-proses demokrasi juga selalu dilangsungkan. Parlemen leluasa memperingatkan presiden atau perdana menteri, sebagaimana ditekankan dalam demokrasi, juga hal biasa. Namun, “kedaulatan orang kaya” tampaknya juga cukup menggejala. Kesenjangan sosial dan rusaknya moralitas juga hal biasa.7 Perceraian dan orang tua tunggal lebih dari 50 % di Swedia. Bentrokan etnis dan rasialisme cukup terasa di Prancis dan Italia. Homoseks sangat biasa bahkan dilegalkan di Belanda. Gereja-gereja ditinggal umatnya hampir di seluruh Eropa Barat. Orang-orang jompo diserahkan oleh anaknya ke panti jompo menjadi pemandangan yang lumrah di Eropa.8
Bagaimana dengan belahan dunia lainnya? Di Eropa Timur, partai-partai yang mengusung demokrasi dan menjatuhkan komunisme dulu mulai diragukan. Ini karena hasil karya mereka adalah “kedaulatan orang kaya baru”. Kesenjangan sosial dan kerusakan moral semakin membudaya. Di India, Pakistan, Bangladesh, dan Philipina, jurang pemisah kaya miskin demikian tinggi. Syarat potensial jadi pemimpin di negara-negara itu juga cukup aneh, yaitu bapak atau suaminya terbunuh. Lihat saja: Benazir Bhutto, Begum Khaleda Zia, Hassina Washeed, Cory Aquino, atau Sonia Gandhi.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita tahu sendiri bagaimana negeri ini. Betapa jarang kita membaca headline surat kabar dengan gembira, kecuali menghibur diri dengan rehat atau komentar pojok.
Itulah fakta mayoritas dari peta dunia sekarang, negeri-negeri penganut demokrasi: aneka ragam problem.
Tentu patut kita bertanya-tanya: Mengapa yang terjadi pada dunia saat ini tak seindah “kampanye” yang dilakukan oleh Sang Demokrasi dua seperempat abad silam? Mengapa kenyataannya tak seindah “janji-janji”-nya?
***

Salahkah Mr. Demokrasi…? Tunggu dulu!
Kiranya kita harus jeli untuk tidak terburu menyalahkan Demokrasi. Satu hal yang perlu kita ketahui, ketika Demokrasi tampil sebagai “pendekar penyelamat dunia” di akhir abad XVIII M lalu, ia tidak sendirian. Masih ada beberapa “pendekar” lain yang tampil, yaitu Sekularisme, Liberalisme, dan Kapitalisme. Padahal, selama ini banyak pihak yang mengatakan bahwa ketiga isme inilah yang telah mengacak-acak dunia. Sekularisme dianggap telah menjadikan lemahnya peran agama dan terjadinya kerusakan moral. Liberalisme dinyatakan menjadikan semua orang ingin bebas, berani menentang agama, dan tak peduli pada nilai-nilai. Kapitalisme dikatakan menjadikan kesenjangan sosial dan kedaulatan konglomerat. Walau begitu, tampaknya harus kita akui: selama ini Demokrasi memerintah dunia dengan “berkoalisi” dengan ketiga “pendekar” itu.9 Padahal, bukankah dengan itu ia harus rela memahami “pandangan” mereka, mentoleransi “sikap” mereka, bahkan membiarkan “sepak terjang” mereka dalam banyak hal?
Yang sangat penting kita cermati, selama dua seperempat abad ini tampaknya secara umum diakui bahwa Sang Demokrasi-lah yang menjadi “pemimpin” di dunia, bukannya ketiga “sosok” lainnya tadi. Terbukti yang paling sering disebut media dunia adalah negara demokrasi, bukannya negara sekular, negara liberal, atau negara kapitalis. AS juga lebih sering menyebut diri sebagai negara pengemban demokrasi, bukan lainnya. Hanya saja, dengan fakta ini, kiranya sangat wajar kalau ada pihak yang menjuluki Demokrasi sebagai “pemimpin” yang peragu dan tidak tegas. Alasannya, bukankah warna dunia selama dua seperempat abad ini lebih diwarnai kiprah Sekularisme, Liberalisme dan Kapitalisme? Bukankah seringkali muncul kritik bahwa negara atau masyarakat terlalu sekular, liberal, dan kapitalis, tapi kurang demokratis? Artinya, bukankah Demokrasi kalah peran dibanding para “pendamping”-nya? Memahami hal ini, tentu kita layak bertanya-tanya:
Bagaimana “peta politik” dunia selama dua seperempat abad ini sebenarnya? Benarkah ketiga “sosok” itu yang merusak dunia? Apakah Demokrasi “bersahabat dekat” dengan mereka? Atau Demokrasi mungkin “bertempur” dengan mereka tapi kalah? Atau Demokrasi berusaha bertindak “arif” dengan memberikan “jalan tengah” tapi gagal? Atau jangan-jangan Demokrasi menjadi korban atas sikap akomodatifnya sendiri? Atau Demokrasi kebingungan karena selalu kalah cepat? Apakah Demokrasi harus melakukan “reshufle” kabinet isme-isme? Apakah kita harus membebaskan Demokrasi dari mereka? Kalau iya, lantas Demokrasi harus bersekutu dengan siapa? Apakah kita harus menciptakan dan mendukung “koalisi” baru?
Atau jangan-jangan Demokrasi salah, sehingga kita dengan berat hati harus memberinya peringatan? Namun, bukankah Demokrasi pahlawan kita? Tapi, bagaimana dengan sebagian pihak yang mempertanyakan kepahlawanannya? Bagaimana pula dengan kalangan yang bahkan ingin melengserkan Demokrasi?

Apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa yang seharusnya kita –-penduduk dunia— lakukan?
Faktanya, Demokrasi ternyata memang pro sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme. Bahkan alat “mereka bertiga”. Ini karena beberapa hal:
Sejarah tegaknya sekularisme, liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi pada dua revolusi (AS dan Prancis) bersifat satu kesatuan untuk melawan monarki absolut dan kekuasaan gereja. Kata kedaulatan rakyat saat itu sebagai lawan dari kedaulatan penguasa dan kedaulatan Tuhan.
Demokrasi menuntut adanya kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku/ berekspresi, dan kebebasan beragama, dan kebebasan kepemilikan. Ini adalah “prinsip-prinsip mutlak” tanpa ada nilai lain di atasnya. Ini akan membuat sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme otomatis akan mendapat lahan subur.

Demokrasi mengajarkan pembangunan nilai dan aturan dari suara mayoritas. Ini akan membuat lemahnya agama karena suara ulama tidak lebih dihargai dibanding penjudi. Sebaliknya terjadi dominasi kapitalisme karena para kapitalislah yang otomatis menguasai suara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar